Kamis, 30 Desember 2010

tambahan tulian etika bisnis

1. 90% Migas Kita Dikuasai Asing

Saat ini, masyarakat dunia ’diguncang’ dengan krisis minyak dunia. Harga jual minyak dunia hampir menembus US$100 perbarel. Kenaikan ini diyakini akan semakin ’memperburuk’ perekonomian dunia, termasukIndonesia. Akibatnya, Pemerintah diprediksikan harus ’menanggung’ beban subsidi minyak yang ’membengkak’. Tentu kondisi ini dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi neraca dalam APBN. Ujung-ujungnya Indonesia akan jatuh dalam krisis anggaran. Inilah yang dikatakan oleh Pemerintah sebagai ’membahayakan’. Benarkah demikian? Bukankah Indonesia negara pengekspor migas? Sebenarnya, berapa potensi migas Indonesia? Mengapa kenaikan harga minyak dunia ’dikhawatirkan’ akan membebani APBN? Apakah karena sektor migas banyak dikelola oleh asing? Ataukah justru sebaliknya, kenaikan harga minyak dunia ’membawa berkah’ tersendiri bagi Indonesia?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, Redaktur al-Wa’ie Gus Uwik secara khusus mewancarai Dr. Hendri Saparini, Pakar Ekonomi dari Econit dan Tim Indonesia Bangkit. Berikut petikan wawancaranya.
Berapa sebenarnya potensi migas Indonesia?
Potensi sumberdaya migas Indonesia saat ini sebenarnya masih sangat besar. Menurut data terakhir di kantor Kementerian ESDM, sumberdaya minyak bumi Indonesia saat ini masih tercatat sekitar 86,9 miliar barel dan gas bumi sekitar 384,7 triliun standar kaki kubik. Sungguh sangat besar.
Berapa banyak yang dikelola asing?
Inilah yang jadi masalah. Sumberdaya migas Indonesia yang sudah dieksplorasi maupun yang masih berupa cadangan memang sangat besar, namun hampir semuanya, sekitar 90%, dikuasai asing. Bayangkan. Lebih seratus tahun pengelolaan industri migas berlangsung di negeri ini, namun peran maupun kiprah industri migas nasional masih sangat rendah. Kondisi ini sangat berbeda dengan negara lain yang berusaha meningkatkan perannya dalam mengelola sumberdaya alam migas.
Contoh paling mudah adalah Malaysia. Negara jiran kita yang pada tahun 1970-an belajar dari Pertamina, saat ini, melalui Petronas, sudah menguasai pengolahan migas di negaranya dan dilakukan oleh putra-putri Malaysia sendiri. Bukan itu saja, Petronas juga sudah merambah ke berbagai negara untuk melakukan eksplorasi. Bandingan lain adalah pengelolaan migas di Cina. Peran industri migas asing di negeri tersebut amat minimal, kurang dari 5%.
Jika negara-negara lain berusaha untuk menguasai sumberdaya alam migas karena yakin bahwa penguasaan sumber energi alam ini akan menjadi kunci kemandirian dan kemajuan bangsa, mengapa keyakinan yang sama tidak ada pada para pejabat Indonesia? Bagi saya, hal ini bisa terjadi tidak lain kecuali karena banyak pejabat yang menjadi subordinasi dari kepentingan asing. Jadi, tidak salah bahwa Indonesiamemang masih dijajah dalam bentuk penjajahan yang berbeda. Penjajahan semakin mulus dan samar saat Indonesia memiliki banyak komprador dan agen kepentingan asing yang tidak peduli terhadap kepentingan nasional.
Berapa sebenarnya prosentase migas untuk diekspor dan domestik?
Sekarang ini tataniaga atau kegiatan ekspor-impor migas amat sangat ruwet. Pemerintah melakukan ekspor, tetapi juga mengimpor. Ekspor harus dipertahankan karena bisnis ini menguntungkan sekelompok orang. Ekspor juga mengakibatkan Indonesia harus impor minyak. Mengapa? Inilah yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Namun yang jelas, kegiatan impor migas telah menjadi salah satu dukungan dana bagi penguasa.
Di sisi lain, dalam kerangka kerjasama dengan swasta (baik nasional ataupun asing) saat ini meskipun menurut Pemerintah bagian minyak pemerintah 85%, sejatinya tidaklah sebesar itu. Pemerintah masih harus menanggung beban kewajiban membayar cost recovery. Jadi, bagian Pemerintah sejatinya hanya sekitar 75% saja. Walhasil, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Pertamina harus impor, baik minyak mentah maupun BBM. Dengan tren produksi (lifting) migas yang semakin menurun selama beberapa tahun terakhir dan kecilnya peran Pemerintah, maka semakin terbatas pilihan bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ekonomi kita ternyata telah telah sangat dikacaukan oleh ketergantungan terhadap pemenuhan migas. Indonesia tidak seharusnya melakukan impor minyak maupun BBM. Namun, yang terjadi, tidak hanya wajib impor, tetapi Pemerintah juga harus impor dengan harga lebih tinggi karena keberadaan broker. Sangat memalukan. Perusahaan migas negara lain telah banyak menceritakan betapa rakyat Indonesia telah dibodohi selama puluhan tahun karena permainan broker yang diberi peluang untuk mencari untung US$ 20-30 perbarel. Belum lagi permainan-permainan lain dalam ekspor-impor migas yang juga telah merugikan keuangan negara. Mengapa keberadaan pencari rente tetap eksis? Tentu jawabannya sangat mudah. Mereka selalu nyantol atau mungkin dibekingi oleh penguasa negeri ini. Belum lagi liberalisasi yang memungkinkan para pemain asing masuk di industri hilir migas seperti pembukaan pom bensin tanpa diwajibkan membangun infrastruktur karena mereka membajak milik Pertamina. Persis sama dengan kasus Indosat. Rasanya sangat tidak masuk akal, tetapi benar-benar terjadi.
Apa sebetulnya akar semua kekacauan ini?
Tidak ada alasan lain kecuali karena adanya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Sumber Daya Migas. Pengelolaan sumberdaya migas semakin amburadul setelah diundangkannya UU tersebut. Seperti diketahui, UU Migas pada era Pemerintah Megawati telah diijonkan kepada asing untuk ditukar dengan utang. Mengapa ini terjadi? Seperti saya jelaskan sebelumnya, mulusnya UU tersebut karena kepentingan korporat dunia dan kerakusan negara Barat telah diakomodasi dengan sangat baik lewat para komprador Mafia Berkeley yang sudah menguasai kebijakan ekonomi Indonesia sejak 40 tahun lalu.
Berbagai masalah akhirnya bermunculan bak cendawan di musim hujan. Menurut laporan BPK, telah terjadi penyelewengan dalam perhitungancost recovery karena perusahaan minyak melakukan kecurangan dalam perhitungan. Untuk satu setengah tahun saja, 2004 dan semester I 2005, hasil audit BPK menunjukkan, terdapat potensi kerugian negara sedikitnya 1,473 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 13,3 triliun. Temuan itu antara lain mencakup biaya-biaya yang tidak berhubungan dengan operasi perminyakan dibebankan ke dalam cost recovery. Kontraktor mengajukan biaya depresiasi atas fasilitas yang dibangun meskipun tidak berjalan dengan baik, dan pembebanan biaya kantor pusat tidak disertai dengan bukti-bukti yang cukup. Hingga saat ini, baik oleh Menteri ESDM maupun BP Migas, masalah ini belum ditindaklanjuti. Anehnya, potensi penerimaan negara yang luar biasa ini tidak dikejar oleh para anggota DPR. Licinnya pelicin minyak telah menyusup ke semua lini.
Kelangkaan gas adalah masalah lain yang muncul akibat diberlakukannya UU Migas. Dalam UU Migas Pasal 22 (1) disebutkan, “Badan Usaha atau Badan Usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Akhirnya, pabrik-pabrik pupuk milik Pemerintah terpaksa tutup karena tidak tersedia pasokan gas. Dimana semangat kepentingan nasionalnya? Mengapa kebijakan pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri hanya dengan kebijakan, “Kalau ada sisa ekspor”? Kalau gak ada ya gak masalah wong memang tidak ada kewajiban. Masih sangat panjang daftar kerugian yang diakibatkan oleh liberalisasi pengelolaan migas dan juga tambang.
Seperti diketahui tuntutan masyarakat untuk dilakukan judicial reviewterhadap UU tersebut telah berhasil meskipun Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan revisi terhadap tiga pasal saja. Walaupun hanya tiga pasal, DPR maupun Pemerintah tidak peduli untuk segera merevisi. Dengan kata lain, tanpa ada desakan dari masyarakat untuk merevisi kebijakan migas, tidak akan pernah terjadi perubahan.
Dengan kenaikan harga minyak bagaimana dengan keuangan Pemerintah? Untung atau rugi?
Ini yang aneh. Pada tahun 2005, saat terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia hingga mencapai US$ 70 perbarel (dari semula US$ 45 perbarel), Pemerintah langsung menyatakan kenaikan harga minyak membebani keuangan negara sehingga subsidi BBM harus segera dipangkas. Hasilnya, Pemerintah menaikkan harga BBM hingga dua kali dan dengan tingkat kenaikan yang luar biasa, yakni di atas 126%. Namun, kali ini Pemerintah dengan cepat mengamini bahwa penerimaan Pemerintah bertambah. Jadi, “Jangan khawatir,” tegas pejabat Pemerintah. Jangankan sekarang, setelah BBM mengalami kenaikan tinggi tahun 2005 dan BBM industri telah disesuaikan harga international, saat BBM belum mengalami kenaikan saja, kenaikan harga minyak dunia sesungguhnya ’telah menambah’ pundi-pundi Pemerintah.
Apa yang dilakukan Pemerintah dengan kenaikan minyak dunia sudah tepat? Berpihak kepada rakyat?
Hingga akhir 2007, Pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM dengan pertimbangan APBN masih aman. Mengapa? Selain ada tambahan penerimaan, realisasi program pembangunan dari APBN 2007 masih sangat lambat. Hingga Semester I 2007 baru 17% program pembangunan yang dilakukan. Artinya, pelaksanaan APBN yang lamban ini telah menyelamatkan APBN 2007 meskipun harus dibayar dengan absennya program-program penciptaan kerja.
Namun, untuk tahun depan kenaikan harga minyak akan dijadikan ’justifikasi’ untuk menaikkan harga BBM. Penyataan bahwa Pemerintah sedang mempersiapkan JPS (Jaring Pengaman Sosial) menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mau melakukan kebijakan terobosan dan kebijakan yang sifatnya substansial. JPS, selain terbukti efektivitasnya rendah, juga sangat minimal untuk mengurangi beban kelompok miskin karena hanya akan mengulang kesalahan BLT.
Saya, insya Allah, yakin kebijakan yang akan diambil bukan saja kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan ekonomi nasional, tetapi juga tanpa perencanaan dan tidak subtantial. Semua hanya bersifat polesan-polesan.
Selain program JPS ala Bappenas, ternyata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro justru kembali menawarkan solusi masalah energi dengan alternatif yang sejalan dengan KonsensusWashington, yaitu mengetatkan subsidi dan segera menghilangkan peran Pemerintah dalam pengelolaan migas. Mari kita simak usulan Purnomo.Indonesia, tegasnya, harus segera meliberalisasi industri migas seperti Jepang dan negara maju lainnya. Selain sangat menyederhanakan masalah pilihan, ini jelas menunjukkan tidak adanya keberpihakan kepada rakyat. Dengan melepas harga BBM pada harga internasional yang dikendalikan oleh korporasi-korporasi asing, ini jelas akan menekan daya beli masyarakat Indonesia yang sangat jauh di bawah masyarakat Jepang atau bahkan negara-negara tetangga sepertiMalaysia atau Singapura.
Demikian juga usulan untuk melakukan efisiesi energi dengan mengurangi subsidi listrik. Katanya, langkah ini akan mengurangi kebiasaan masyarakat yang boros listrik. Tidak jelas, masyarakat mana yang dimaksud. Apapun pilihannya, lagi-lagi menunjukan Pemerintah masih keukeuh mengusung konsep konservatif IMF, bahwa untuk menyelamatkan keuangan negara, tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan beban-beban subsidi.
Usulan untuk mempercepat penerapan konversi energi semakin menunjukkan bahwa langkah kebijakan tidak terencana. Mengganti sumber energi, baik untuk industri maupun untuk rumah tangga, tidak bisa dengan cepat. Program konversi energi untuk Indonesia yang selama puluhan tahun tidak memiliki energi alternatif memerlukan masa transisi yang panjang dan memerlukan peran besar Pemerintah. Jangan sampai konversi dilakukan dengan mengurangi pasokan, dengan harapan, kalau supply minyak tanah tidak ada maka akan memaksa masyarakat beralih ke gas. Untuk masyarakat menengah atas skenario tersebut mungkin benar. Namun, untuk yang pendapatannya pas-pasan, tidak ada alternatif kecuali mengurangi pengeluaran lain atau menurunkan kualitas.
Sebetulnya, mungkin-tidak di Indonesia minyak murah?
Sangat mungkin kalau Pemerintah mengubah cara perhitungan harga dasar BBM. Harga BBM ditetapkan berdasarkan biaya produksinya, bukan berdasarkan harga internasional yang ditetapkan dengan perkembangan harga minyak rata-rata di Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS). Namun, banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan ini.
Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah?
Langkah pertama adalah dengan merevisi UU Migas tahun 2001. Undang-undang ini telah menjadi biang kerok kekacauan ekonomi Indonesia. Kalau negara lain bisa mengembalikan kepemilikan migas dari asing kepada negara, maka hal yang sama pasti dapat dilakukan di Indonesia. Bahwa tidak mudah untuk dilakukan saat ini, itu pasti. Namun, kalau dikatakan langkah terobosan atau haluan baru dalam mengelola sumber alam tidak dapat dilakukan, sangat salah. Jadi, tugas berat bangsaIndonesia adalah mencari sistem pengelolaan dan langkah terobosannya plus mencari orang yang berani melakukannya. [Dr. Hendri Saparini]


2.Kehancuran Pasar Uang

Berita-berita yang mendominasi pers dalam beberapa minggu terakhir ini adalah berkaitan dengan fluktuasi yang terjadi pada pasar uang. Jutaan dolar hilang akibat penurunan nilai saham. Telah terjadi kerugian pada dana lindung nilai (hedge fund) secara besar-besaran, munculnya ancaman dan kegagalan bank, krisis kredit, dan intervensi dari Bank Sentral pada pasar untuk membantu likuiditas dan membangun kembali tingkat kepercayaan terhadap pasar modal. Apakah sistim ekonomi ini sedang dalam keadaan terpuruk? Jika ya, mengapa demikian?
Problem yang terjadi saat ini bermula dari problem yang terjadi pada sektor perumahan di Amerika, khususnya setelah terjadinya penggelembungan harga perumahan yang sebelumnya terjadi di sana.Hal ini awalnya tercermin oleh problem pada sub-prime mortgage market (hipotik untuk masyarakat kurang mampu). Sub-prime adalah kata halus untuk orang yang tidak ingin diberi jaminan karena mereka adalah orang miskin dengan risiko kredit yang tinggi! Namun, karena keinginan untuk menciptakan produk-produk keuangan untuk memenuhi semua selera, dan lebih penting lagi untuk dapat menjaga agar permintaan akan perumahan dan kepercayaan konsumen terhadap ekonomi Amerika tetap tinggi, banyak bank yang terlalu bernafsu untuk meminjamkan kredit yang berisiko tinggi ini. Apalagi lewat pasar turunan (derivative market), risiko dari pinjaman sub-prime loan ini telah dianggap reda lewat penggabungan risiko ke dalam produk-produk seperti CDO (jaminan obligasi utang-collateralised debt obligations) dan produk-produk derivatif lainnya. Teorinya adalah, lewat penggabungan pinjaman yang berisiko tinggi ini ke dalam investasi kolektif maka kerugiaan yang diderita menjadi merata. Dengan meratanya risiko pada banyak investor secara teoretis akan mengurangi risiko menyebarnya kerugian.
Namun, bagaimana jika seandainya seluruh kelas investasi—dalam kasus ini hipotik (utang hipotik) yang berisiko tinggi bagi masyarakat paling miskin—memburuk? Konsekuensinya adalah telah terjadi pemerataan menuju terhentinya pasar hipotik secara keseluruhan di dunia kredit dengan “pendapatan tetap”. Pasar itu sekarang tersedot ke dalam nilai perumahan di Amerika yang terus menurun, dengan memperhatikan tingkat kerugian dan kegagalan dalam membayar pinjaman-pinjaman itu, dan akhirnya banyak bank yang sangat kesulitan dalam pasar seperti ini. Pada saat ini pihak peminjam menjadi sangat berhati-hati dan pihak investor menarik dananya dengan cepat, agar mereka bisa mendapat nilai dari dana/investasi yang sekarang ini mereka tinggalkan.
Mengingat seriusnya krisis ini, bank-bank sentral di Eropa, Asia dan Amerika telah menyalurkan ke pasar ini lebih dari $300 juta (£150juta ) dana taktis. US Federal Reserve juga telah memotong setengah persen suku bunga (suku bunga pinjaman) pada lembaga-lembaga keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah hancurnya keuangan dan secara efektif menstop “pelarian” dari lembaga-lembaga keuangan yang memegang aset-aset ini dan keuangan lainnya dengan kualitas yang dipertanyakan. Tingkat suku bunga naik secara dramatis hingga dilakukannya intervensi oleh bank-bank sentral.
Kondisi yang telah memperburuk krisis ini adalah efek dari apa yang dinamakan ‘leveraging’ (investasi dengan uang pinjaman). Tidak puas dengan investasi pada aset-aset berisiko tinggi, bank-bank dan hedge fund menggunakan secara penuh peminjaman atau ‘leveraging’ untuk mendapat pendapatan berlipat. Jika sebuah aset bisa menghasilkan keuntungan bersih katakanlah 7% maka dengan hal ini dapat berlipat hingga 21% melalui peminjaman dana tambahan untuk diinvestasikan. Namun, tentu saja kerugiannya akan berlipat juga jika ternyata pasar berjalan pada arah yang berlainan. Obligasi-obligasi yang memperoleh peringkat kualitas tinggi, double atau triple A, dengan nilai nominal 99% dari nilai nominal sebulan yang lalu, sekarang diperdagangkan dengan nilai 90%. Jika pihak investor di-‘leverage’ 3 kali, mereka akan menderita kerugian mendekati 30%. Sedikit saja dari pihak investor dan spekulator yang mampu mendapatkan jalan keluar dari masalah ini.
Yang membuat masalah bertambah ruwet adalah sifat alami dari penyatuan investasi ini yang biasanya diperdagangkan secara rahasia (“over the counter” OTC), yang berarti bahwa pasar tidak benar-benar mengetahui siapa yang berisiko jatuh. Bear Stearns, Bank Paribas dan sekarang bank-bank Jerman dengan profil tinggi pun pada saat ini berada di tepi jurang keterpurukan dan akan memerlukan dukungan yang besar agar bisa survive.
Walaupun dilakukan beberapa kali reformasi pasar dan pembuatan peraturan dalam beberapa tahun sebelumnya untuk mengekang akibat yang terburuk dari hal ini, tampaknya pemerintah-pemerintah bersama bank-bank sentralnya masih memerlukan intervensi secara berkala untuk memperbaiki ketertiban pada pasar uang. Apakah tangan yang tak terlihat (invisible hand) dari pasar itu telah digantikan dengan tangan dari bank-bank sentral? Apalagi dengan munculnya berbagai produk perbankan yang dilakukan terhadap uang yang dimaksudkan untuk mengokohkan sistem perbankan telah mengakibatkan terjadinya inflasi pada semua sektor kehidupan di masyarakat. Akibatnya, sistem perbankan yang seharusnya mampu mengatur dirinya sendiri untuk terciptanya kebebasan aliran modal dan penggunaannya tidak berjalan sehingga memerlukan intervensi besar dari negara, walaupun krisis yang sebenarnya dari masalah keuangan ini belum muncul ke permukaan.
Banyak orang tidak memahami fungsi pasar modal, istilah yang dipakai, dan maksud keberadaannya. Untuk memahaminya disini ada dua kelompok transaksi. Kelompok pertama orang memperdagangkan barang dan jasa yang sebenarnya. Mereka bisa membeli atau membuat barang dan menjualnya, atau memberikan jasa yang berkaitan dengan lingkup kerja dan keahliannya. Hal ini mewakili jenis transaksi bisnis seperti yang telah dikenal berabad-abad. Kelompok kedua adalah perkembangan baru dalam suatu transaksi, yaitu transaksi bisnis yang tidak secara langsung membuat barang dan jasa tetapi hanya menyediakan sebuah jasa yang baru. Para pelaku bisnis ini tidak terkait langsung dengan bisnis real tapi berspekulasi pada apa yang akan—kadang-kadang pada transaksi pada kelompok pertama atau beberapa bisnis dalam lingkup itu—mereka lakukan dan kadang-kadang hanya menyediakan modal atau uang untuk bisnis yang sebenarnya atau menyediakan uang untuk berspekulasi pada performa bisnis yang sebenarnya.
Pasar modal pinjaman, pasar valas, pasar derivatif, pasar saham, dan banyak jenis investasi bank berupa pertukaran yang terjadi saat ini berada dalam kelompok kedua yang sifatnya spekulatif dan lebih banyak dibandingkan dengan bisnis real (barang dan jasa selain finansial). Hal ini jelas terlihat pada beban transaksi yang terjadi pada dunia spekulatif itu. Volume pasar valas, bursa sekuritas, derivatif dan transaksi-transaksi yang sejenis memerlukan modal dan valuta asing yang lebih banyak bahkan berlipat-lipat daripada modal dan valuta asing yang ditanamkan pada bisnis yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan mudahnya mendapatkan kredit dalam proses akuisisi, yaitu membeli perusahaan lain dengan dana pinjaman. Pasar derivatif ini digambarkan seperti seekor lalat yang terbang seharga 40 ponsterling yang ada di belakang seekor anjing yang berharga 5 ponsterling!
Penggunaan transaksi derivatif dan uang pinjaman bank itu juga berarti bahwa untung-rugi yang besar dapat terjadi hanya dengan perubahankecil saja dalam harga pasar. Seseorang akan menganggap bahwa hal ini bukan masalah dalam dunia nyata, karena selalu akan ada pemenang dan pecundang dalam transaksi apapun, dan ketika ada pihak-pihak yang mau mengambil risiko, mengapa tidak dibiarkan saja untuk mengambilnya? Akan tetapi, jika risiko yang diambil begitu besar dan kelompok lain tidak memahaminya, maka risiko keruntuhan atas keseluruhan sistem akan terjadi melalui efek domino yang dihasilkan. Keruntuhan semacam itu dapat melibatkan keseluruhan sistem perbankan.
Inilah yang terjadi pada tahun 1998 ketika bank-bank sentral masuk secara agresif untuk membantu manajemen modal jangka panjang (Long Term Capital Management) yang telah lumpuh, berupa dana lindung nilai (hedge fund) atas utang yang dimiliki sebesar $125 juta terhadap modal sendiri yang kurang dari $5 juta. Apalagi pada saat ia runtuh posisi derivatif neracanya berada pada $1.25 triliun! Dengan pertimbangan agar sistem perbankan tetap berjalan, Federal Reserve di Amerika melakukan penyelamatan sebesar $3.6 miliar dolar agar pasar uang tidak hancur. Kehebohan yang terjadi ditutup-tutupi dengan janji akan adanya peraturan yang lebih baik untuk memastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi. Namun, yang dirasakan sebagai kehancuran besar oleh banyak orang adalah tidak terhindarkannya besarnnya gelembung pasar yang telah tumbuh ini sehingga tingkat risikonya semakin tinggi dan kurangnya transparansi dari para pelaku pasar dan transaksi yang dilakukan. Begitu juga respon pemerintah pada para pemain di pasar ini—dengan menyalurkan lebih banyak uang ke dalam sistem ini sehingga mendorong terjadinya pinjaman secara besar-besaran pada tingkat teratas sebagaimana yang terjadi sekarang ini— semakin menyusahkan, karena mengakibatkan ketidakadilan dengan menurunnya nilai uang karena inflasi.
Sangat disayangkan, banyak kaum Muslim saat ini yang tidak dapat melihat bahaya dari pasar-pasar semacam ini, bahkan mereka ikut serta di dalamnya tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apakah investasi semacam ini dibolehkan dalam Islam atau tidak. Larangan atas investasi yang berdasarkan bunga telah diketahui oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, penjelasan didapatkan hingga sekitar tahun 1950-an atau awal 1960-an ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang cendekiawan Azhari dan pendiri Hizbut Tahrir, memberikan penjelasan yang gamblang atas hukum tentang pasar modal, termasuk saham modern dan pasar yang terkait melalui sebuah proses ijtihad. An-Nabhani mengutip hukum dari struktur perusahaan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. sebagai syarat berdirinya perusahaan, pengaturan dan pemilikannya. Struktur itu bukanlah barang baru bagi mahasiswa Syariah—Mudhârabah, Mufawadhah, ‘Abdan, ‘Inan, dan Wujûh. Semuanya termasuk persyaratan bagi investor untuk ikut serta secara langsung dalam risiko bisnis sesungguhnya yang termasuk di dalamnya ikut berpartisipasi dalam bisnis itu, baik bekerja secara langsung atau berupa partisipasi modal. Hal ini menghindari spekulasi atas kinerja perusahaan dan pembelian sebuah perusahaan atas dasar uang pinjaman (pembelian perusahaan dengan utang).
Pendekatan islami memastikan bahwa para pelaku bisnis memiliki keterkaitan langsung dengan bisnis yang nyata itu, yang memastikan pelaporan secara penuh dengan dasar profit and loss sharing (pembagian keuntungan dan kerugian) sehingga dia akan mendapat reward jika untung dan sebaliknya menanggung risiko ketika terjadi kegagalan.Tanpa pembelian dengan modal pinjaman dan spekulasi derivatif pada pasar modal atau mata uang, maka fokus akan tertuju pada bisnis yang sebenarnya dan bukan merupakan spekulasi atas transaksi-transaksi bisnis. Hal ini memberikan pendekatan yang lebih stabil bagi bisnis dan pasar modal.
Kemudian, bahwa Islam melarang ribawi berarti bahwa orang mencari kembalinya investasi, bukan lewat suku bunga yang diatur oleh bank, tetapi lewat partisipasi langsung pada bisnis itu dengan keikut sertaan pada resiko dan keuntungan yang ada pada bisnis itu.
Problem-problem mendasar yang dihadapi oleh kaum Muslim dan kebanyakan orang di dunia ini adalah bahwa sistim kapitalis tidak hanya berjudi dengan miliaran dan trilunan dolar saja, melainkan juga berjudi dengan kehidupan, investasi dan harapan orang. Kaum Muslim, berupaya membangun sistim ekonomi Islam di Dunia Islam sebagai bagian dari penegakkan kembali Islam dan cara hidup yang menyeluruh yang merupakan implementasi hukum-hukum Allah. Dengan penerapan hukum ini, maka kita tidak lagi akan melihat pasar yang rapuh, seperti ketidakstabilan keuangan dan akibat-akibat yang dihasilkannya, yaitu kesengsaraan yang diderita oleh umat manusia tidak bisa dihindarkan lagi. [Jamal Harwood; Aktivis Hizbut Tahrir Inggris; sumber: www.hizb.org.uk; diterjemahkan oleh Riza Aulia]


3. Asing Menguasai Industri Farmasi

Dunia kesehatan Indonesia saat ini seperti ‘jalan di tempat’. Produsen obat dalam negeri seolah mengalami upaya ‘pengkerdilan’ secara sistematis. Akibatnya, selain makin besarnya ketergantungan terhadap bahan baku obat dari luar negeri juga ada upaya sistematis ‘menumbuhkan’ industri farmasi dengan kapital besar yang tidak lain adalah industri farmasi asing. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia farmasi kita? Untuk menjawab pertanyaan di atas, wartawan kami, Gus Uwik, mewawancara Direktur Utama PT Infar Arifpharma, Industri Farmasi di Medan. Berikut petikan wawancaranya.
Saat ini, berapa persen obat-obatan yang beredar di masyarakat yang diproduksi oleh industri farmasi dalam negeri ?
Sebenarnya hampir semua obat yang beredar di masyarakat diproduksi oleh industri di dalam negeri, cuma produsennya saja yang beda-beda. Ada Penanam Modal Asing (PMA), Penanam Modal Dalam Negari (PMDN), BUMN, dan Industri Menengah dan Kecil. Dari sisi jumlah, industri farmasi di Indonesia sekitar 280 perusahaan. Memang sebagian besar, hampir 80% adalah perusahaan farmasi yang penanam modalnya milik dalam negeri, dan industri kecil dan menengah. Namun, sekitar 20 pabrik, yang ini milik asing, menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Jadi sebenarnya, ya asinglah yang menguasai industri farmasi.
Dari sisi bahan baku, apakah semuanya lokal atau sebagian besar impor?
Dari bahan baku hampir sebagian besar (95%) kita impor, apakah bahan berkhasiat atau yang sifatnya sebagai bahan pembantu. Padahal pada masa era Soeharto sebenarnya telah ada UU yang mewajibkan setiap industri farmasi PMA memproduksi bahan baku di Indonesia. Namun, aturan ini sampai hari ini tidak pernah berjalan. Saya tidak tahu persis, apakah ini memang disengaja oleh mereka (asing, red.) agar Indonesia tidak bisa mandiri dalam penyediaan bahan baku. Padahal ini adalah mutlak harus kita punyai untuk menghadapi persaingan global pada industri farmasi.
Bagaimana perdagangan obat impor selama ini?
Mengenai obat impor ada yang berjalan apa adanya berdasarkan hukum permintaan dan kebutuhan. Namun, ada juga yang perdagangannya sangat terkait dengan nuansa politis. Terlepas dari itu semua, yang jelas adalah mencari keuntungan. Padahal dalam perdagangan obat ada tiga dimensi utama yang harus kita lihat: Pertama, dimensi ekonomi. Kedua, dimensi teknologi, Ketiga, dimensi sosial. Seharusnya yang nomor tiga ini yang dikedepankan oleh negara. Kenyataannnya, dimensi ekonominya justru lebih kuat. Artinya, negara lebih mengedepankan hitung-hitungan untung-rugi dalam penyediaan obat-obatan bagi masyarakat.
Jika demikian apakah dunia farmasi di Indonesia mengalami pertumbuhan?
Kondisi dunia farmasi di Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan persaingan global yang didesain oleh kapitalis. Tahun 2008 ini industri farmasi Indonesia, mau tidak mau, suka tidak suka, karena sudah menjadi ‘keputusan bersama’ menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area) yaitu obat dari negara ASEAN akan leluasa masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya dari Indonesia bebas masuk ke negara ASEAN yang lain. Jargon yang dikedepankan adalah agar industri farmasi Indonesia dapat lebih efisien sehingga bisa berkembang. Masalahnya, apakah industri farmasi di Indonesia sudah siap? Begitu juga dengan birokrasi kita?Pasalnya, untuk industri farmasi berlaku ketentuan cGMP (current Good Manufacturing Practice) yang terdiri dari dua persyaratan utama: (1) ACTD (Asean Common technical Dosier); (2) ACTR (Asean Common Technical requirements).
Kedua hal ini sebenarnya merupakan persyaratan standar kualitas obat dan kemasan yang diberlakukan sama di semua negara. Pertanyaannya, apakah negara dan pelaku usaha kita telah siap? Yang lebih saya maksud adalah industri farmasi kecil dan menengah, lho. Kalau industri yang besar mungkin PMA atau PMDN kelas kakap bisa jadi dapat dengan mudah mengikuti persyaratan ini. Pemerintah berpikir sederhana saja, kalau tidak sanggup, diusulkan untuk Toll Manufacturing. Artinya, pabrik yang tidak memenuhi syarat bisa memproduksikan obatnya ke perusahaan yang memenuhi syarat. Ini memang kelihatan sederhana. Namun, sebenarnya di sinilah letak ‘kerumitannya’. Harga produksi ‘titipan’ ini ternyata setiap 3 bulan sekali mengalami kenaikan. Lha, kalau naik terus tiap tiga bulan, matilah kita. Lama-lama cost produksi kita lebih besar daripada harga jual kita. Yang lebih menyedihkan lagi, perusahaan yang mendapat ‘durian runtuh’ ini adalah perusahaan farmasi yang memenuhi syarat. Jika dilihat, perusahaan yang memenuhi syarat ini tidak lain adalah perusahaan yang mempunyai kapital besar. Siapa dia? Tentu, pihak asing. Artinya, kebijakan Toll Manufacturing ini sebenarnya, ‘mengerdilkan’ industri kecil dan menengah dan membesarkan Industri besar (baca: asing). Sebagai perbandingan saja, di Singapura dan Malaysia yang sudah melaksanakan cGMP banyak industri yang gulung tikar. Di Singapura 100% tutup dan di Malaysia 50% tutup. Kita bisa bayangkan di Indonesia apabila negara tidak melindungi pelaku industri farmasi. Sebab, minimal untuk memenuhi cGMP ini memerlukan dana yang tidak sedikit.
Dengan adanya cGMP ini, akhirnya banyak sekali persyaratan yang tidak rasional. Padahal yang penting adalah keamanan dari mulai proses produksi sampai hasil akhir pengemasan. Memang dalam perkembangan penyakit, dinamika dalam kesehatan akselerasinya begitu tinggi Cuma selama ini kita selalu terprovokasi oleh opini kapitalis untuk bisnis mereka. Hal ini bisa kita lihat bagaimana sewotnya Menteri Kesehatan dengan kasus ‘Flu Burung’ dan lain-lain. Ini bisa kita maklumi karena Ibu Menteri melihat dengan jelas ada kepentingan di balik suatu masalah.
Jadi, ada upaya asing untuk ‘memukul’ industri farmasi nasional?
Tentu ada. Hanya saja, memang nuansanya terlihat jelas bagi orang-orang yang mau berpikir.
Seperti apa contohnya?
Contohnya, mereka mengemasnya dengan cukup elegan. Tidak bisa saya terangkan satu-persatu. Yang jelas begini. Terkait dengan aturan-aturan di atas dan masih banyak lagi aturan yang dikeluarkan oleh WHO, WTO atau Globalisasi, mereka semua berada di belakangnya, menuju pada satu titik, yakni privatisasi dan kapitalisasi industri farmasi. Mereka mengemas sedemikian rupa sehingga kita tidak merasa kalau kita dimanfaatkan oleh mereka (kapitalis) untuk meraup keuntungan dari negeri kita. Mereka tahu bahwa kita adalah pasar terbesar di ASEAN. Dari 500 juta penduduk ASEAN Indonesia 230 juta. Jadi, kelihatan betul AFTA ini dibuat agar mereka bisa masuk ke pasar kita dengan mulus.
Menurut kacamata Bapak, apakah ini berjalan secara sistematis?
Ya. Kelihatan sistematis banget bagi orang-orang yang mau berpikir. Ini adalah sebuah penjajahan yang sifatnya tidak fisik. Apalagi kita berbicara tentang obat, seharusnya sosial-kemanusiaan kan yang lebih didahulukan. Namun, kapitalis justru meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Kita juga sudah terkontaminasi dengan sistem kapitalis itu. Bisa kita lihat dengan jelas. Orang yang makan obat, dan tentunya mereka sedang sakit, harus dibebani pajak PPn 10%, belum lagi aturan yang lain-lain. Seharusnya negara menghapuskan pajak yang 10% ini agar masyarakatnya menjadi sehat. Kalau rakyatnya sehat, tentu negara akan menjadi kuat. Inilah gunanya negara, melindungi masyarakat.
Dulu pemerintah menggulirkan program obat generik. Apa yang menyebabkan program ini hanya bertahan sebentar?
Program obat generik dan penggunaan obat nasional memang digulirkan oleh Pemerintah karena negara-negara maju sudah mulai mengkonsumsi obat generik. Kesadaran masyarakat menggunakan obat generik cukup tinggi. Apalagi bagi mereka yang kesehatannya di tangani oleh asuransi. Dari satu sisi asuransi lebih suka pakai obat murah (generik) dimana khasiatnya sama dengan obat branded (obat paten). Kalau di Indonesia, konsumsi obat generik masih rendah jika dibandingkan dengan obatbranded (obat paten).
Permasalahannya: Pertama, walaupun harga generik ini murah, ternyata ketersediaanya tidak merata. Selanjutnya dari kacamata konsumen seorang pasien, mereka tidak bisa memilih atau meminta obat generik, karena dia sangat bergantung pada penulis resep, yakni dokter. Walau, Pemerintah telah menjelaskan bahwa pasien bisa meminta kepada dokter untuk diberi obat generik dan dokter tidak boleh menolak permintaan pasien, fakta di lapangan sungguh sangat berbeda. Sebab, penulisan resep obat sangat dipengaruhi promosi perusahaan farmasi yang sering menggunakan cara-cara yang menyimpang dari etika. Di sini Pemerintah, masyarakat dan dokter harus lebih aktif mempromosikan obat generik.
Kedua, tidak ada insentif dalam berbisnis obat generik bagi industri farmasi yang memproduksinya dan bagi apotik yang memasarkannya. Mengapa demikian? Sebab, dalam distribusi obat generik, tidak ada keuntungan yang wajar. Produk generik tidak profitable. Sebab, volumenya harus tinggi, namun marginnya rendah. Tentu, industri farmasi tidak ‘meliriknya’ sama sekali.
Ketiga, ini memang kultur kita yang tidak bagus. Dokter selaku penulis resep dan masyarakat Indonesia sendiri kurang percaya kualitas obat generik. Mereka percaya opini, kalau obat murah khasiatnya pasti tidak baik.
Saat ini pemerintah kembali mengkampanye-kan obat murah seharga Rp 1.000, apakah harga tersebut betul-betul murah?
Obat murah yang Anda tanyakan Rp 1.000 ini sebenarnya tidak murah. Sebab, obat yang Rp 1.000 (6 kaplet) sebenarnya ini bisa Anda beli di pasaran yang ada dengan harga Rp 500. Hal seperti ini juga merupakan ‘pembodohan’ kepada masyarakat.
Jadi ‘obat murah’ itu justru menghasilkan untung besar?
Kalau di pasaran bisa kita beli Rp 500,- lalu dijual Rp 1000,- tentu untung besar lah.
Di masyarakat beredar rumor bahwa dokter banyak yang ‘berselingkuh’ dengan industri farmasi dalam upaya menjual merek obatnya. Apakah benar?
Ini bukan rumor lagi, tetapi sudah menjadi rahasia umum. Benar adanya.
Lalu apa solusi fundamental atas semua problem di atas?
Akar masalahnya adalah ketika negara tidak memfungsikan dirinya sebagai negara, yakni melayani masyarakatnya. Negara kita saat ini justru ‘merusak’ masyarakat atau lebih pasnya adalah berdagang dengan rakyatnya. Semuanya dijual dan dipajakin; bukan pelayanan. Lebih parahnya lagi malah negara melayani pihak asing (kapitalis). Karena itu, solusinya negara ini harus diubah paradigma dan aturannya sehingga berparadigma melayani dan mengurusi kemaslahatan masyarakatnya. Yang saya tahu, sistem pemerintahan yang berdasarkan Islamlah, yakni Khilafah Islamiyah, yang akan mampu menyejahterakan rakyatnya.


4. KASUS PRITA VS RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL

Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600

Kalau ditelusuri dari awal sekali kasus ibu prita ini bermula dengan adanya mass mail dari ibu prita ke beberapa orang dalam sebuah jaringan mail-list. Dimana isi dari tulisan tersebut menceritakan tentang buruknya manajemen dan pelayanan RS OMNI kepada ibu prita. Stop sampai disitu sebenarnya kasus ini mempunyai 2 sisi yaitu Pertama ibu prita ingin menuntut haknya sebagai konsumen, OMNI juga ingin menuntut haknya sebagai lembaga pelayanan. Kedua posisi ibu prita yang menulis dan mengirimkan mass mail itu memang kurang bagus keadaannya karena bisa dikategorikan spam/fitnah, pihak OMNI paham dengan baik tentang aturan ini sehingga melakukan tuntutan yang sampai sekarang belum juga terselesaikan dengan baik. UU ITE yang kurang jelas dan rancu juga ikut turut andil dalam sisi kedua sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum yang jelas.
Inilah bukti beberapa kebobrokan, yang pertama, dimana yang namanya LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN! sudah dari dulu lembaga perlindungan konsumen di Indonesia ini hanya nampang nama dan keren doang tanpa hasil. Lihat beberapa bukti orang berteriak layanan speedy buruk bla bla bla mana ada respon dari lembaga ini untuk memperjuangkan hak konsumen, konsumen di Indonesia adalah slave! (budak) dan produsen adalah raja. Sekali lagi terbukti yang punya lebih banyak RUPIAH di negeri ini akan menang dalam segala hal. Kedua, PARAHNYA tingkat korupsi di lembaga peradilan.
Kalau merujuk ke UU ITE pasal 43 ayat 5 e yang berbunyi:
melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Apakah sudah ada ahli yang bisa membuktikan dengan akurat tentang hal ini? karena ini hukum sudah seharusnya ada bukti yang bisa dipertanggung jawabkan. Bagaimana caranya membuktikan bahwa ibu prita adalah pengirim email ini sebenarnya mudah untuk dibuktikan, untuk penerima email bisa membuka informasi penuh tentang asal mula email tersebut disitu akan terlihat sebuah IP yang bisa ditelusuri lebih sampai kedalam sampai benar dan pasti merujuk pada sebuah alat elektronik. Kalau tidak bisa membuktikan ini maka sebenarnya ibu prita HARUS dibebaskan dari tuntutan spam/fitnah karena tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan.
Melihat dari sisi manusiawi, Saya yakin dan amat sangat yakin 70% kasus ini akan dimenangkan ibu prita ASAL ada syaratnya:
Lembaga peradilan tidak menerima suap dari siapa saja. Termasuk dalam hal ini pihak RS OMNI, saya dengar dari banyak isu RS OMNI melakukan penyuapan kepada lembaga peradilan.
YLKI paham dan memperjuangkan hak-hak prita sebagai konsumen. Dalam kasus ini adalah sebenarnya prita lebih mengarah kepada protes pelayanan tetapi menggunakan proses mediasi yang salah.
Kejelasan UU ITE yang tidak rancu.Saya sudah tau tentang gerakan “koin untuk prita” sebenarnya dalam kasus ini Prita sudah lebih dulu menang sebelum keputusan lembaga peradilan keluar. Hukum dibangun oleh masyarakat dan masyarakat bisa menentukan hukum itu sendiri. Jadi kalau ada gerakan koin untuk prita yang sangat kuat ini sebenarnya sudah terlihat masyarakat lebih memihak kepada prita di banding OMNI. Kalau ini diteruskan maka pihak OMNI kemungkinan besar akan kalah karena kekuatan masyarakat akan lebih besar dibanding kekuatan suatu lembaga. Kalaupun pihak OMNI menang dalam tingkat lembaga peradilan maka rakyat Indonesia pasti tidak akan diam saja mengingat rakyat sudah merasa HUKUM tidak lagi memberikan peradilan bagi semua orang, namun hukun hanya memberikan kemenangan kepada yang memilik lebih banyak UANG.


5. Asuransi Kesehatan

Ada beberapa realita yang mendorong Indonesia menjadi sangat menarik bagi para investor di sektor jasa asuransi kesehatan (health insurance), termasuk bagi para investor asing.
Pertama, perhitungan untuk pasar sektor jasa asuransi kesehatan di negeri ini cukup besar. Di suatu sisi, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi telah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membayar premi jasa asuransi kesehatan. Sementara itu di sisi lain, akibat berbagai kebijaksanaan seperti izin penanaman modal di sektor kesehatan serta kebijaksanaan swadana RS pemerintah, jasa pelayanan kesehatan juga menjadi makin mahal. Sebagai komoditi jasa lainnya, perhitungan ekonominya pun makin menonjol mengikuti mekanisme pasar. Dengan demikian masyarakat tanpa mengikuti program asuransi kesehatan akan semakin terbatas kemampuannya untuk dapat membayar biaya sakit.
Kedua, hadirnya undang-undang yang melandasi usaha asuransi kesehatan, khususnya UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dan UU no. 23/1992 tentang Kesehatan,
serta UU no. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Melalui UU no. 2/1992, asuransi kesehatan dimungkinkan sebagai bagian dari asuransi jiwa atau asuransi kerugian.
Karena potensi pasar di sektor jasa asuransi kesehatan meningkat, dengan sendirinya banyak perusahaan asuransi jiwa dan kerugian, termasuk PMA, berminat melengkapi usahanya dengan menjual paket asuransi kesehatan. Dapat dibayangkan, berapa banyak program asuransi kesehatan yang bakal ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan itu. Sementara itu, dengan UU no. 23/1992, dibuka kemungkinan bagi badan-badan usaha untuk memberikan jasa jaminan pemeliharaan kesehatan melalui program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Kemudian melalui UU no. 3/1992 terbuka program jaminan pemeliharaan kesehatan, sebagai bagian dari program jamsostek bagi tenaga kerja, yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketiga UU itu memiliki pembina teknis yang berbeda, masing-masing adalah Departemen Keuangan, Departemen Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja.
Ketiga, cakupan program asuransi kesehatan yang dinilai masih sangat rendah dibanding kemampuan ekonomi dan besarnya penduduk. Dewasa ini, berdasar laporan Bank Dunia (1993), program asuransi kesehatan baru mencakup sekitar 13 persen penduduk Indonesia. Sekadar perbandingan, dengan pendapatan yang hampir sama (1993), cakupan di Philipina sudah mencapai sekitar 38 persen penduduk. Dengan masih rendahnya cakupan program asuransi kesehatan, serta besarnya potensi ekonomi Indonesia, pertumbuhan program asuransi kesehatan diperkirakan mempunyai peluang yang baik. Dengan paparan realita di atas, di masa depan diperkirakan persaingan disektor usaha asuransi kesehatan akan semakin sengit.
Asuransi Kesehatan adalah asuransi yang memberikan penggantian Biaya Kesehatan. Jangan salah, yang termasuk Biaya Kesehatan sebetulnya ada tiga:
1. Pemeliharaan Kesehatan, seperti check up kesehatan, pembelian makanan kesehatan maupun vitamin.
2. Perawatan, yaitu apabila Anda mengalami sakit, sehingga harus mengeluarkan uang untuk dokter atau rawat inap di RS, serta operasi (Rawat inap, Rawat Jalan, Operasi).
3. Pengobatan, yaitu apabila Anda mengalami sakit dan harus membeli obat.
Nah, Asuransi Kesehatan tidak mengganti Biaya Pemeliharaan Kesehatan. Dia hanya mengganti Biaya Perawatan dan Biaya Pengobatan.
Banyak Asuransi Kesehatan yang dijual dengan cara ditempelkan ke produk Asuransi Jiwa. Tetapi banyak juga yang dijual secara terpisah, dengan cara pembayaran bulanan atau tahunan. Bila tidak terjadi risiko apa-apa, kontrak selesai. Tidak ada pengembalian premi.


NAMA : Rizki Nurstianto
NPM : 10207962
Kelas : 4 EA 12
Dosen : Supriyo